Posted by muhsinlabib under
Analisis (Dipindahkan ke thread ini oleh ADMIN) Keinginan
Pemkab dan DPRD Manokwari menyusun rancangan peraturan daerah (raperda)
pembinaan mental dan spiritual berbasis Injil menuai kritik dari banyak
kalangan, termasuk Kristen. Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-gereja
di Indonesia (PGI), Pdt. Dr. Richard M Daulay, mengatakan, sebuah kota
haruslah terbuka dengan memberikan ruang publik yang luas. Tidak boleh
ada perda yang hanya berlaku untuk satu etnis, agama, atau suku
tertentu.
Ketua MUI, Umar Shihab,
menyarankan agar Pemkab Manokwari mengganti istilah ‘Kota Injil’ yang
berpotensi menimbulkan perpecahan karena daerah lain bisa menuntut hal
serupa. Menurut Hidayat Nur wahid, jika rancangan peraturan daerah
(raperda) di Manokwari itu disahkan, sehingga misalnya akan melarang
pemakaian jilbab di tempat umum dan pendirian mesjid, maka itu
berlebihan dan bisa memecah belah bangsa kita. Sementara itu, Ketua
Dewan Syariah PBNU, KH Ma’ruf Amin mengemukakan pendapat yang lebih
longgar. Ia menganggap reperda itu sah-sah saja, bahkan tidak
berkeberatan dengan klausul larangan menggunakan pakaian yang
mencerminkan simbol agama dan larangan pendirian tempat ibadah di dekat
gereja. Namun, itu semua dengan syarat bahwa Manokwari harus menjadi
kota khusus yang tertutup, tidak menjadi ibu kota Provinsi Irian Jaya
Barat.
Sementara sejumlah pakar tata negara menganggap usulan
dan rancangan tersebut tidak proporsional meskipun berasakan
undang-undang otonomi daerah. Prof Eko Prasojo, Guru Besar FISIP
Universitas Indonesia (UI), menilai upaya itu sebagai bentuk
pelaksanaan otonomi daerah (Otda) yang kebablasan, sebagaimana dikutip
Republika, (24/3).
Dari
sisi lain, sebagian kalangan menilai mencuatnya usulan ini bisa
ditafsirkan sebagai indikasi nyata bahwa fundamentalisme dan fanatisme
tidak hanya terjadi dalam komunitas Muslim, tetapi juga berkembang
dalam masyarakat Kristiani Fenomena ini sejak lama telah menjadi objek
keprihatinan sejumlah tokoh dan intelektual Kristen yang rasional.
Adakah ini memang pertanda maraknya Kristen fundamentalis yang
berkarakter agresif dan anti-pluralitas?
Menurut Pdt. Dr.
Ioanes Rakhmat, gerakan fundamentalisme Kristen adalah gerakan yang
sangat modern; mereka memanfaatkan teknologi modern untuk menyebarkan
doktrin-doktrin dan visi-visi mereka ke seluruh dunia (internet,
televisi satelit, televisi kabel, dan lain-lain.); mereka menerapkan
ilmu manajemen modern untuk menggalang dana secara massif dan mengelola
ekspansionisme gerakan dan organisasi mereka; mereka mempelajari dan
menerapkan
insights yang diperoleh dari kajian-kajian modern
antropologi sosial-budaya untuk bisa masuk dan beradaptasi dengan
suku-suku asing dan terasing di dunia demi upaya kristenisasi, melalui
program dunia “
evangelism explosion” mereka; mereka mempelajari
peta politik, ekonomi, dan bahasa-bahasa penduduk lokal dalam wilayah
negara-negara yang sudah masuk ke dalam daftar upaya tersebut; mereka
membekali, melalui metode-metode modern, para “gerilyawan” mereka
dengan keterampilan- keterampilan praktis-efektif untuk bisa masuk ke
kawasan-kawasan “lawan” yang sedang menjadi target misi proselitisme
mereka; mereka mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan modern untuk bisa
berpolemik demi mempertahankan “keilmiahan” teks-teks Alkitab; dan lain
sebagainya. Hal-hal ini menunjukkan bahwa mereka adalah organisasi
modern, yang dikelola secara profesional dan memiliki tujuan-tujuan
yang ingin dicapai melalui sarana-sarana modern.
Setelah menggambarkan masa depan manusia yang terancam oleh bayang-bayang kemusnahan dan
annihilation sebagai
akibat dari fundamentalisme dalam Kristen, ia menghimbau gereja-gereja
arus utama untuk mengenali lebih dalam fundamentalisme Kristen agar
dapat disikapi. Lebih lanjut, ia menyebutkan sejumlah ciri khas
fundamentalisme Kristren kontemporer dalam sebuah artikel panjang.
Namun, yang paling menonjol adalah tiga ciri khas berikut:
Pertama, Kristen fundamentalis menganut ‘literalisme biblikal’. Para fundamentalis Kristen, dengan berpijak pada doktrin sesat “
inerrancy of the Bible”,
menekankan bahwa apa pun yang tertulis dalam Alkitab cukup diterima
dengan iman saja, bahwa apa pun yang sudah ditulis di dalamnya adalah
kebenaran mutlak yang melampaui segala zaman, berlaku kekal, berwibawa
untuk segala tempat dan manusia. Jika seluruh pesan dalam Alkitab
dilaksanakan secara literal, dalam dunia kita sekarang ini, maka
menurut Rakhmat—mengingat Alkitab juga memuat pesan-pesan
kekerasan—dunia akan senantiasa berada dalam bayang-bayang maut
kehancuran semesta, seperti yang diinginkan para literalis biblikal
fundamentalis Zionisme Kristen di Amerika Serikat, yang berpengaruh
dalam penentuan kebijakan politik luar negeri Amerika dan kemunculan
fundamentalisme Kristen di berbagai belahan dunia.
Kedua,
Kristen fundamentalis bermental triumfalistik ekspansionistik.
Menurutnya, para penganut fundamentalisme Kristen memandang versi
Kristen mereka sebagai versi agama yang paling unggul, paling benar,
dan paling baik, jika dibandingkan dengan agama-agama lain non-Kristen
dan versi-versi lain Kristen; dan, karena keunggulan ini, mereka
memandang versi Kristen mereka sebagai ajaran yang harus disebarkan ke
seluruh penjuru bumi, dengan mengeliminasi agama-agama lain non-Kristen
dan menjadikan orang-orang non-Kristen bertobat dan melakukan konversi
agama ke versi Kristen mereka. Mereka memiliki keyakinan bahwa pada
akhirnya di dunia ini hanya akan ada agama tunggal yang benar, yang
tampil sebagai sang pemenang tunggal, yakni agama Kristen
fundamentalis.
Ketiga, Kristen fundamentalis
berkolaborasi dengan kapitalisme Barat. Kalau gerakan-gerakan Islam
militan di Indonesia sering dikaitkan dengan Saudi Arabia yang
merupakan pusat wahabisme dan salafi, maka fundamentalisme Kristen di
Indonesia berafiliasi dengan kapitalisme global yang berpusat di
Inggris dan Amerika, yang menjadi penyuntik dana besar gerakan-gerakan
Kristen yang mempunyai misi ekspansif di wilayah mana pun di dunia.
Keempat,
gerakan fundamentalisme Kristen di Indonesia berlangsung tidak terbatas
hanya di kalangan kelompok-kelompok mereka sendiri (yang berbentuk “
inborn” atau melalui “
conversion”) sebagai sub-sub kultur atau
ghettodalam kultur-kultur yang lebih besar, tetapi juga sudah dan sedang
dengan agresif, lihai, dan tanpa nurani menyusup ke gereja-gereja arus
utama yang anti-fundamentalism e. Mereka memakai strategi dan taktik
penyebaran secara “diam-diam” (sebagai para gerilyawan religius yang
umumnya diutus untuk menyusup ke kalangan muda gereja arus utama) atau
secara “terang-terangan” ketika menemukan diri mereka sudah cukup kuat
dan berakar di dalam organisasi-organisa si gereja-gereja arus
utama—yakni ketika mereka sudah berhasil menempatkan atau bersahabat
kental dengan para “pelayan” gereja yang kemudian (anehnya) terlibat
secara penuh dalam gerakan fundamentalisme Kristen dan rela menjadi
para
warrior untuk memperjuangkan perluasan pengaruh kekuasaan dan teritori mereka.
Keenam,
para penganut fundamentalisme Kristen dihinggapi suatu gejala mental
eksesif, atau yang biasa disebut sebagai “narsisme radikal”—yakni rasa
cinta diri dan maniak diri, yang sangat mendalam dan berlebihan dan
membuta, baik terhadap apa yang mereka persepsikan sebagai kebenaran
maupun terhadap ideologi-ideologi religius, politik, ekonomi, dan
kebudayaan yang sudah berhasil mereka bangun dan pertahankan.
Yang
jelas, fundamentalisme, baik dalam Islam maupun Kristen, mesti disikapi
dengan serius dan diantisipasi para tokoh kedua agama agar kekerasan
yang merugikan bangsa ini tidak makin merembet ke daerah lain
(Copyright majalah dwiminggual ADIL edisi 13).